Mencari Sengkuni Penjegal Demokrasi
N/A • 12 March 2023 21:14
Narasi penundaan pemilu bukan barang baru. Sempat timbul dan lalu tenggelam, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat awal bulan ini membuat narasi itu kembali menguat. Walau belum berstatus inkrah, putusan penghentian seluruh tahapan Pemilu membuat masyarakat gundah.
Di era Reformasi, pesta demokrasi benar-benar menjadi pesta rakyat yang digelar lima tahun sekali. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan menentukan arah bangsa dan negara lima tahun ke depan. Pemilu merupakan manifestasi kedaulatan rakyat. Melalui pemilu, rakyat menentukan wakilnya yang akan membuat undang-undang, mengawasi sepak terjang pemerintahan, menentukan prioritas pembangunan serta mengatur penggunaan uang negara.
Namun, pemilu legislatif dan pemilu presiden yang sedianya berlangsung pada 14 Februari 2024 bisa jadi ditunda. Pada Januari 2023, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenangkan gugatan Partai Prima terhadap KPU.
Dalam putusannya, majelis hakim menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu 2024 sejak putusan diucapkan. KPU juga harus mengulang tahapan pemilu dari awal selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari.
Partai Prima sebagai penggugat meminta KPU menghormati putusan pengadilan. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berdampak penundaan pemilu mendapat reaksi keras berbagai kalangan. Seperti elit partai politik yang sepakat menyatakan penundaan pemilu 2024 tidak masuk akal.
Namun, jangan langsung mengasumsikan kelompok penguasa berada di balik narasi penundaan pemilu. Pekan ini, Presiden Jokowi mendukung tahapan pemilu tetap berjalan. Presiden juga mendukung KPU mengajukan banding.
Perjuangan agar pemilu sesuai jadwal terus dilakukan. Pekan ini, KPU mendaftarkan memori banding atas putusan PN Jakarta Pusat yang berdampak penundaan pemilu.
Harapan disandangkan agar putusan pengadilan tinggi seirama dengan aspirasi demokrasi di negeri ini yaitu mendengar pilihan rakyat sebagai kedaulatan tertinggi.
(Muhammad Ali Afif)