- TANAMAN SORGUM PROGRAM JOKOWI MULAI DIPANEN DI LOMBOK TENGAH NTB
- WAPRES PASTIKAN INDONESIA SEGERA KIRIM BANTUAN KEMANUSIAAN GEMPA TURKI
- KBRI ANKARA AKAN EVAKUASI 104 WNI TERDAMPAK GEMPA TURKI DI LIMA LOKASI
- TPNPB-OPM MENGAKU BERTANGGUNG JAWAB ATAS PEMBAKARAN PESAWAT SUSI AIR DI NDUGA
- TPNPB-OPM MENGAKU SANDERA PILOT SUSI AIR KAPTEN PHILIPS ASAL SELANDIA BARU
- KEMENDAGRI DORONG PEMKOT SORONG GENJOT REALISASI APBD SEJAK AWAL TAHUN
- POLRI: PESAWAT SUSI AIR DI NDUGA DIBAKAR KKB PIMPINAN EGIANNUS KOGOYA
- POLRI PREDIKSI BERITA HOAKS DAN POLITIK IDENTITAS MENINGKAT JELANG PEMILU 2024
- PRESIDEN YAKIN PENURUNAN INDEKS PERSEPSI KORUPSI TIDAK PENGARUHI INVESTOR
- KAPOLRI: TIM GABUNGAN TERUS MENCARI PILOT DAN PENUMPANG SUSI AIR DI NDUGA PAPUA
Bedah Editorial MI - Keadilan Buntu di Pohuwatu
Nasional • 18 hours agoBelum tuntas kemarahan masyarakat Pulau Rempang, Kepulauan Riau, yang terjadi pada awal September lalu, kini muncul lagi amuk serupa di Kabupaten Pohuwatu, Provinsi Gorontalo. Kantor Bupati Pohuwatu dan kantor PT Puncak Emas Tani Sejahtera (PT PETS) menjadi sasaran amarah rakyat pada Kamis (21/9).
Potensi konflik antara investor dan kepentingan warga lokal di Pohuwatu sejatinya sudah terdeteksi sejak akhir tahun lalu. Para penambang emas bersama keluarga mereka sudah resah sejak pemerintah memberi izin usaha pertambangan kepada PT PETS dan kontrak karya kepada PT Gorontalo Sejahtera Mining PT GSM, keduanya anak usaha dari PT Merdeka Copper Gold Tbk, pengelola Proyek Emas Pani (Pani Gold Project/PGP).
Cerita selanjutnya mudah ditebak, kehadiran perusahaan tersebut mengganggu mata pencaharian warga lokal yang sudah menambang sejak 1990-an. Sebagai penambang tradisional, bermodal alat mirip tempayan untuk mendulang, mereka mencari butiran-butiran emas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka.
Menambang emas sudah menjadi profesi mereka selama puluhan tahun, diturunkan dari orangtua mereka.
Di mata pemerintah, tentu saja tambang-tambang emas yang terhampar luas di Pohuwatu menjadi modal pertumbuhan ekonomi, baik bagi daerah maupun nasional. Apalagi, emas-emas itu masih banyak tersimpan di perut bumi Pohuwatu karena selama ini hanya didulang secara tradisional.
Di tengah tekanan ekonomi pascapandemi covid-19, pemerintah tentu mencari investor yang bisa menggarap tambang-tambang emas di sana secara modern, tentunya untuk memberi pemasukan ke negara.
Di sini kerap kali pemerintah dituding lebih condong ke investor. Dengan dalih investasi dan pertumbuhan ekonomi, investor bak mendapat karpet merah.
Namun, konflik warga di Pulau Rempang dan Pohuwatu dapat menjadi bukti bahwa cara pemerintah memacu pertumbuhan ekonomi tidak memperhatikan hak-hak dasar rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang cacat karena pertumbuhan dibangun di atas penderitaan rakyat kecil.
Konflik di Pohuwatu ialah satu dari banyaknya kasus serupa di Indonesia. Rakyat kecil acapkali menjadi korban dari kepentingan bisnis. Hak guna usaha atau izin tambang diobral pemerintah ke swasta tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat lokal.
Pemerintah mestinya menjadi mediator yang cakap dan adil, yang bisa mempertemukan investor dan masyarakat lokal. Tidak sulit mestinya bagi pemerintah karena investor dan masyarakat lokal punya kepentingan yang sama, sama-sama mencari cuan.
Pemerintah tinggal mempertemukan mereka di satu meja untuk mempertemukan kedua kepentingan yang sebenarnya sama. Begitu mereka mencapai kata sepakat, pemerintah tinggal menunggu setoran pajak dari mereka.
Namun, jika melihat fakta investor yang kerap berbenturan dengan masyarakat lokal, mudah dinilai pemerintah, baik pusat dan daerah, belum cakap dalam mengelola investasi. Belum ada jaminan kemudahan berusaha bagi investor, belum ada pula jaminan keadilan bagi masyarakat setempat.
Lalu di sini akhirnya memunculkan pertanyaan, siapa yang akhirnya bakal menikmati pembangunan di Pohuwatu? Sementara bunyi sila kelima Pancasila belum berubah, masih 'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'.